' '

Rabu, 27 Mei 2015

Tentang Tulungagung


Candi Gayatri

Candi Sanggrahan atau Candi Cungkup adalah candi pemujaan budha, letak di Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Candi berbentuk bujursangkar dan terdiri dari bangunan kaki, tubuh dan atap. Candi ini peninggalan Kerajaan Majapahit, dibangun sekitar tahun 1350, dulunya merupakan candi tempat penyimpanan abu kerabat raja Majapahit


Bagian kaki candi sangat luas, tinggi dua meter, terdapat dinding relief harimau. Di bagian tangga ada reruntuhan batu bekasgapura. Pengunjung tahun 2005 total 2.548 orang.Dulu ada enam buah patung budha namun karena ditakutkan ada penjarahan maka patung disimpan dirumah juru kunci sebelah selatan candi.
Berkas:RA 3550032.JPGdisekitar candi kita dapat menemui banyak peninggalan sejarah yang berserakan di sekitarnya ada sebuah tugu pemujaan sebelah utara candi juga sebuah umpak di utara tugu dan jika anda menggali tanah disekitar candi maka akan banyak ditemukan gerabah kuno peninggalan masa lalu.

Candi Gayatri

Candi Gayatri adalah reruntuhan candi Hindu yang berada di dusun Boyolangu, kalurahan Boyolangu, kecamatan Boyolangu,kabupaten TulungagungJawa Timur. Lokasi di Boyolangu. Pada bagian tangga batu candi ini terdapat tulisan angka 1289Ç (1367 M) dan 1291 Çaka (1369 M), yang kemungkinan dipakai untuk menandai tahun pembuatan dari Candi Gayatri, yaitu pada zaman kerajaan Majapahit.
Di dalam kawasan candi ini terdapat satu candi induk dan dua candi perwara di sebelah selatan dan utaranya. Candi induk berukuran 11,40 m x 11,40 m, mempunyai arca Gayatri (arca wanita dari ratu Sri Rajapatni, nenek dari raja Hayam Wuruk)) dengan panjang 1,1 m, lebar 1 m dan tinggi 1,2 m. Pada candi perwara di sebelah selatan terdapat arca Nandi, arca Dwarapala dan arca Mahisasura Nandini. Pada candi perwara di sebelah utara terdapat dua patung yoni yang disangga oleh kepala naga, arca Ganesa dan sebuah patung Jaladwara.

Terowongan Niyama

Terowongan Niyama merupakan terowongan yang melegenda di Tulungagung. Terwongan ini memiliki sejarah yang panjang dengan banyak pengorbanan tenaga dan perasaan. Terwongan Niyama pertama kali di gagas oleh Jepang yang pada saat itu menjajah Indonesia (1942-1945). Kerja paksa (romusha) pun dilakukan untuk mewujudkan keinginan pemerintahan jepang di Indonesia. Pada rencana pembuatan terowongan ini adalah untuk mengalirkan kelebihan DAS Sungai Brantas yang mengalir di Tulungagung ke Samudera Hindia. Namun pelaksanaan pembangunan ini terhenti karena Jepang kalah dalam perang dunia II pada tahun 1945.

Banjir Besar di Tulungagung tahun 50 an


Tahun 1955 daerah Tulungagung terkena banjir besar yang menelan banyak korban dan kejadian itu menimbulkan gagasan pembangunan kembali terowongan Niyama yang kemudian pada tahun 1955-1961 pembangunan terowongan Neyama tersebut diteruskan oleh Dinas Pengairan Provinsi Jawa Timur. Begitulah sejarah Terowongan Niyama dari tangan Jepang ke Tangan Indonesia. Perbaikan Terowongan Niyama agar dapat difungsikan sebagaimana rencana awal membutuhkan waktu 6 tahun lamanya.


Terowongan Niyama di Tulungagung, Jawa Timur


Terowongan Niyama, Tulungagung Jawa Timur

Jika anda masih belum tahu dimana lokasi Terowongan Niyama, klik DISINI . Terowongan ini merupakan jujukan seluruh sungai di Tulungagung untuk menghindari kelambatan aliran sungai dari Brantas menuju ke Utara. Jika hal itu tetap terjadi (aliran sungai brantas) tetap menuju ke utara, maka kita sering mendapati Tulungagung akan sering tergenang banjir. Untuk membuat bypass aliran air ke Samudera Hindia, maka terowongan Niyama menjadi rencana unggulan yang dicetuskan oleh pemerintah pada saat itu. Kini terowongan itu masih ada, dan merupakan salah satu obyek wisata yang menarik dengan kisah yang menyelimutinya.

Terowongan Niayama: Sungai Terusan dari Terowongan Niyama


Terowongan Niyama: Kenampakan Sungai terusan dari Terowongan Niyama


Terowongan Niyama: Tampak Belakang Terowongan Niyama

Bendungan Wonorejo



Bendungan Wonorejo adalah bendungan yang terletak di Desa Wonorejo, Kecamatan PagerwojoKabupaten TulungagungProvinsi Jawa Timur. Letak dari pusat kota diperkirakan sejauh 12 kilometer. Dengan kapasitas sekitar 122 juta meter kubik, Bendungan Wonorejo menjadi salah satu bendungan terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Bendungan Wonorejo diresmikan pada tahun 2001 oleh Wakil Presiden Indonesia pada tahun tersebut, yaitu Megawati Sukarnoputri, setelah dibangun selama hampir 9 tahun sejak 1992. Bendungan Wonorejo memiliki fungsi penting sebagai salah satu pusat tenaga listrik dan sumber air minum di Provinsi Jawa Timur. Bendungan ini juga berfungsi sebagai sarana untuk pencegah banjir di Tulungagung yang dulu sering melanda kota tersebut, bersama Bendungan Niyama di Kecamatan Besuki. Kini, Bendungan Wonorejo juga berfungsi sebagai salah satu objek wisata andalan Kabupaten Tulungagung selain Pantai Popoh. Beberapa sarana akomodasi telah dibangun di sekitar Bendungan Wonorejo, salah satu yang besar adalah Swa-Loh Resort.

America's Best Architecture | ARTLAND | Reserve Channel


Explore Indonesia - Banda Naira



Banda Neira berada di gugusan Kepulauan Banda, Maluku. Pulau ini adalah salah satu dari banyak pulau di timur Indonesia yang menyimpan keindahan luar biasa. 

Ada banyak hal dan tempat menarik yang bisa Anda temui di Pulau Banda Neira. Banda Neira memiliki nuansa kota tua dimana dahulu merupakan pusat pedagang. Para saudagar melakukan jual beli pala dan fuli yang saat itu merupakan komoditi paling banyak dicari di Kepulauan Banda, dan menjadi asal sumber rempah-rempah hingga pertengahan abad ke-19. 

Istana Mini Neira menjadi satu-satunya bangunan besar dan indah saat itu di kawasan ini. Berikutnya, di sekitarnya banyak dibangun rumah besar sebagai tempat tinggal dari petinggi orang Eropa yang datang ke pulau ini. Bangunan ibarat mansion tersebut berarsitektur Eropa yang khas, seperti dikutip dari laman Indonesiatravel. 

Tidak hanya jejak sejarah Banda Neira yang mengagumkan, perairannya menyimpan kekayaan biota laut yang memesona. Titik menyelam di perairan Banda Neira merupakan surga bagi mereka yang menggilai aktivitas menyelam.

Bandaneira, Negeri Kaya Sejarah Beraroma Rempah

Bandaneira
Bandaneira, berasal dari dua buah nama pulau, yaitu pulau Banda dan pulau Neira.  Bandara udara berada dipulau Neira, dan pulau Banda ada di seberang pulau Neira yang bisa ditempuh dengan perahu bermotor selama  kurang dari 3o menit.
Tiba di bandara saya dan rekan sudah di jemput oleh pihak penginapan, penginapan ini sebaiknya booking jauh hari karena kunjungan ke pulau Bandaneira relative padat akhir-akhir ini sejak tanggal 4 Mei 2013, penerbangan perintis mulai dibuka kembali. Kami menginap di Delfika guest house, bangunan tua  bergaya eropa di mana-mana, seakan membawa kita jauh terhempas tahun 1600an.  Semua masih tampak seperti asli, terbanyang di benak noni Belanda nan cantik ala film-film zaman peperangan,  serdadu Belanda dengan seragam hijaunya, atau juragan rempah-rempah ala mandor bertopi putih dengan sepeda  kumbang
Tiga hari ke depan, pasti hari-hari saya menyenangkan disini. “ini kunci kamarnya , kamar ujung” begitu kata pak Bahri sambil mengantar kami menuju bagian dalam rumah tua.  Kamar berukuran 5 x5 m persegi, dengan berpendingin ruangan dikenai tarif Rp 200.000 permalam beserta sarapan pagi. Bersih dan air sangat cukup.  Apalagi di Delfika guest house ini dikenal dengan masakan lautnya yang paling enak.
Tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di dalam kamar, kami langsung berdiskusi di depan selembar peta wisata Bandaneira pemberian pak Bahri pemilik Guest House, keliling kota Neira, ke pulau Banda (lonthoir) dan snorklingan di pulau Syahrir, itulah jadual tiga hari Kami di Bandaneira

Hari pertama
13793529711099921243
suasana sehari-hari sepi dan bangunan tua dimana-mana
Tidak ada yang jauh di pulau ini, setengah hari saja sudah hampir seluruh pulau Neira di lewati.  Namun mengingat masih banyak tempat yang ingin kami kunjungi, saya memutuskan menyewa sepeda motor saja agar lebih mudah buat Kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain,  untuk 5 jam pemakaian sepeda motor di sewa dengan harga Rp 60.000 atau sewa ojek Rp 45.000.
Rumah Budaya
Sebelum memulai berkeliling menjelajah pulau ini, ada baiknya mengunjungi dulu rumah budaya ini, karena di dalamnya begitu banyak benda sejarah dan kisah-kisah Bandaneira zaman dahulu. Terletak tepat di depan Delfika Guest House.  Di bagian Sayap kiri ada seperangkat meja tamu dilengkapi gramophone yang masih aktif, pemandu sempat pula memutar piringan hitam yang terlihat masih terawat baik, alunan music classic zaman belanda mengalun samar mengiringi penjelajahan kami diruang demi ruang.  Masker menyelam, alat memasak, meriam, lonceng gereja, lonceng benteng, senapan, jam tua, topi perang, semua tertata rapi, namun satu hal yang paling menarik adalah sebuah lukisan tergantung di ruang tengah, menggambarkan peristiwa yang terjadi di tahun 1621 di dalam benteng Nassau , saat itu terjadi pembunuhan 44 orang kaya banda yang dilakukan atas perintah Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterzoon Coen, didepan anak istri beserta keluarganya secara sadis oleh 6 orang algojo samurai yang didatangkan langsung dari jepang (samurainya masih bisa kita lihat di rumah budaya). Dan setelah mati mayat 44 orang kaya ini di ceburkan ke dalam sumur tua tidak jauh dari benteng Nassau, saat ini sumur tersebut juga masih terawatt baik dan dikenal sebagai Perigi Rante (Sumur Berantai) dan dibuat monument dekat sumur ini yang berisi nama-nama 44 orang yang dibunuh
1379353057972382453
Tampak dalam Benteng Nassau yang sudah hampir hancur
13793520981622980965
Lukisan di rumah budaya yang menggambarkan pembunuhan 44 saudagar kaya bandaneira di benteng nassau
1379352705977874537
Perigi Rante, tempat dibuangnya para saudagar yang dibununh di benteng Nassau
Agar mampu memonopoli  perniagaan rempah-rempah diseluruh kepulauan banda, dan menakut-nakuti rakyat Banda agar tunduk kepada pemerintahan Belanda menjadi motivasi pembunuhan besar-besaran ini

Benteng Belgica,
Sebenarnya alasan inilah yang paling menguatkan niat saya mengunjungi Bandaneira, ketika melihat foto benteng Belgica di Internet yang begitu indah, saya begitu kagum dengan bentuk dan arsitektur benteng ini, “ahh akhirnya impian saya terkabul” sekarang benteng Belgica sudah di depan mata, dengan nafas sedikit terengah menaiki hampir seratus anak tangga menuju pintu benteng, bagai anak kecil yang tak sabar menuju arena bermain, itulah yang saya rasakan.  Pintu pagar masih terkunci rupanya,  karena setiap tamu tidak bisa dengan bebas datang dan masuk ke Benteng ini, ada petugas yang berjaga namun tidak selalu ada di benteng, sehingga harus membuat janji terlebih dahulu.  Di bantu oleh penduduk akhirnya 30 menit kemudian petugas berhasil dipanggil,  gelisah menunggu di depan pagar,  sambil sesekali memotret pemandangan alam dari ketinggian.  Gunung api nan anggun tampak hijau merona, langit biru menawan.  Saya betul-betul seperti menemukan tempat bermain baru yang seru
1379352241203002930
dari lantai dua Benteng Belgica dengan pemandangan Gunung Api
Benteng Belgica tercatat sebagai  salah satu “World Heritage” oleh UNESCO dibangun tahun 1621 oleh Portugis sebagai pusat pertahanan, namun pada masa penjajahan Belanda, Benteng Belgica beralih fungsi untuk memantau lalu lintas kapal dagang yang kemudian berhasil di rampas oleh Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah dunia.  Terbayang betapa berharganya rempah-rempah di zaman itu.  Berdasarkan penuturan tokoh masyarakat Bandaneira Bapak Alm. Des Alwi, harga satu kg biji pala, bisa membangun satu buah rumah di Eropa.  Siapa yang tak tergiur dengan kekayaan ini hingga VOC terus berjuang mempertahankan Bandaneira.
Memiliki bentuk lima persegi, ada dua lantai yang bisa kita lihat secara menyeluruh.  Bagian bawah beberapa ruangan tahanan wanita dan pria dengan alat pasung dan juga alat pemenggal kepala, tempat tiang bendera juga dua buah sumur yang konon sebagai terowongan menuju benteng Nassau dan satu lagi menuju pelabuhan.  Di lantai dua kita bisa saksikan 5 buah meriam berjajar, dengan logo VOC diatasnya serta ruangan terbuka dengan 5 buah menara, hati-hati memanjat menara benteng selain anak tangganya sangat tegak dan hanya satu badan lebarnya, serta bagian ujungnya yang sangat sempit.  Apabila anda tidak terjepit di satu menara maka cobalah menaiki empat menara lain lagi, karena tiap sudut benteng menawarkan keindahannya sendiri,  Pemandangan Gunung api,  hilir mudik perahu motor di sepanjang teluk Banda, atau reruntuhan Benteng Nassau, sangat jelas terlihat. Anda bisa sekaligus mengkhayal sebagai Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen, memlintir kumis berdiri gagah memandang lautan mengawasi kapal-kapal pengangkut rempah-rempah  dengan keanggunan Gunung Api.
Rumah pengasingan Bung Hatta, Bung Syahrir, Penjara dan Istana mini
Meninggalkan Benteng Belgica, saya berjalan ke selatan menuju Rumah pengasingan Bung Hatta, dan juga rumah pengasingan Bung Syahrir oleh karena kekuatiran Belanda terhadap kegigihan politik mereka berdua, sehingga diasingkan oleh pihak Belanda ke Bandaneira dimulai sejak 1935 hingga 1942, selama 8 tahun dua tokoh politik Nasional ini gigih mengajarkan pengetahuan politik, bahasa kepada masyarakat setempat, sehingga di rumah ini masih bisa kita saksikan susunan kursi dan meja laiknya sebuah sekolah.
13793523511232318881
Rumah Pengasingan Bung Hatta
Bisa disaksikan juga bersebelahan dengan rumah pengasingan Bung Hatta, sebuah penjara bergaya bangunan colonial Belanda, dan saat berkunjung kesini sempat bertemu dengan kepala penjara dan berbincang sejenak, bahwa kejahatan di Bandaneira sangat minim, saat ini penjara hanya dihuni satu orang tahanan dan itupun kiriman dari Kota Ambon.
Perjalanan dilanjutkan ke Istana Mini disebut demikian karena istana ini dibangun satu tahun lebih cepat dengan istana merdeka yang ada di Jakarta, dilihat dari bentuk pilarnya memang sangat mirip, kemungkinan design istana ini dijadikan contoh untuk pembangunan istana merdeka di Jakarta. Bangunan ini konon digunakan sebagai Pusat kantor perdagangan rempah-rempah dan sekaligus kediaman Gubernur Jenderal Belanda termasuk diantaranya Jan Pieterszoon Coen. Bangunan dengan halaman yang luas, tiang bendera di depannya dan meriam di kanan kirinya.  Apabila melihat sisi dalamnya, langit-langit, jendela dan lantai masih terawat dengan baik, walau terlihat kosong tak satupun benda ada di dalamnya.  Sedangkan pemandangan di depannya adalah selat Zonnegat yang membelah Pulau Banda Besar dan Pulau Naira
berjalan ke  arah samping dari istana mini, kita masih bisa menemukan patung Willem III di halaman, beliau adalah Raja belanda tahun pemerintahan 1849-1890.
Gereja Tua, Mesjid Tua dan Klenteng Sun Tien Kong
Beruntungnya saya saat melintas depan gereja di hari minggu, saat itu ramai para jemaat menghadiri misa, sehingga sayapun bisa melihat bagian dalam gereja tua ini, beserta aktivitasnya, sungguh indah dan unik, karena di lantainya banyak tulisan-tulisan berbahasa Belanda, setelah meminta izin saya diperbolehkan naik ke balkon dibagian belakang untuk mengambil suasana di dalamnya.  Malam harinya saya rasakan juga sholat magrib di masjid tua Masjid Al-Mukhlisin yang dikenal juga sebagai masjid Hatta-Syahrir. Sambil membeli oleh-oleh khas pulau Banda, selai pala, halua kenari dan buah kenari saya bertemu dengan Klenteng Sun Tien Kong yang juga masih tampak terawat baik. Kehadiran Rumah ibadah ini menandakan beraneka ragam etnis dan agama ada disini.
13793524121084016982
Jemaat sedang beribadah di gereja, perhatikan lantainya masih terawat rapi tulisan zaman Belanda menguasai Bandaneira
Hari kedua Menuju Lonthoir
Lonthoir atau Lontor adalah nama desa di Pulau Banda besar, yang letaknya diseberang dari pulau Neira. Perahu merapat di dermaga, dan baru 100 m berjalan kita sudah diajak menapaki anak tangga, sesaat saya terbayang anak tangga di makam Imogiri ataupun anak tangga menuju kawah Bromo, banyak dan cukup tinggi, pelan namun pasti sambil menghitung anak tangga, entah berapa hitungan pasti namun sudah lebih dari 300 buah anak tangga terhitung hingga akhirnya tiba dibenteng Hollandia yang dibangun pada tahun 1642. Benteng yang menghadap ke pulau Neira. Awalnya benteng ini bernama Fort Lonthoir. Kemudian diubah oleh Pieter Vlak menjadi Fort Hollandia.  Benteng itu dibangun untuk mengendalikan lalu lintas laut yang melintas selat antara Neira dan Lonthoir, terutama untuk memonitor aktivitas perdagangan pala dan fuli di desa/kampung sepanjang pantai pulau Lonthoir.
Namun benteng Hollandia ini tampak kurang terawat, dua sisi dinding sudah tampak tak utuh, dan pintu utama juga tampak tidak kokoh lagi banyak batu terbuka sehingga terlihat beresiko untuk rubuh.  Tanaman liar merambat dimana-mana sehingga hampir menutupi pintu utama.  Hujan deras mendadak turun, sehingga 15 menit berteduh di gerbang benteng ini.
1379397148848717437
Gunung Api di pandang dari Benteng Hollandia di pulau Banda
Cuaca berganti cerah kembali, dari  depan pintu kita dapat menyaksikan pemandangan perkampungan Lonthoir yang indah, Gunung Api dan  selat Zonnegat , dikejauhan masih tampak benteng Belgica yang terletak di ketinggian dibukit Tabaleku di pulau Neira
Perjalanan dilanjutkan menuju kebun pala dan kenari, buah pala bergelantungan di setiap pohonnya, siap untuk di petik, hampir semua bagian buahnya menjadi nilai ekonomi, daging buah pala dapat diolah menjadi manisan atau direbus dengan gula menjadi sirup pala, bunganya (fuli) digunakan sebagai bumbu masakan atau diekstrak sarinya menjadi bahan baku kosmetika dan parfum, dan bagian biji yang dimanfaatkan menjadi beragam bumbu dapur. Namun adakalanya buah pala yang berdaging putih ini di makan langsung seperti rujak, bagi yang tahan dengan rasa asam, buah pala ini menjadi kudapan yang nikmat, silakan dicoba
13793524991908754236
Fuli (bunga pala) dan Biji Pala sedang di jemur di halaman rumah penduduk di Pulau Lonthoir
Usai berkeliling di kebun pala saya bertemu dengan dua orang anak Lonthoir, sambil menjaga ternak mereka mengutip buah kenari yang juga banyak berjatuhan di kebun.  Kenari di jemur dan diambil bijinya, Kenari menjadi sumber daya alam paling terkenal disini bisa diolah menjadi makanan ataupun minyak atsiri.
Rasa haus menyergap, namun bekal air sudah habis, “kita minum air perigi saja” kata Pak Ali pemilik perahu motor yang kami sewa dari Neira. Sebuah sumur tua dengan kedalaman sekitar 7m, ada dua sumber mata air disini, satu sumur wanita dan satu sumur pria, dan tidak boleh seorang pria mengambil sumur di bagian wanita, begitulah aturan yang berlaku. Sumur ini dianggap sebagai sumur (Perigi) Keramat. Sumber air minum warga Lonthoir adalah dari sumur ini, tanpa harus dimasak dahulu, air sudah siap diminum, dan tak ragu lagi, sayapun turut meminum air perigi ini, dan membawanya dalam botol air. Setiap 10 tahun sekali diadakan upacara adat untuk mencuci perigi ini. Terakhir perigi dicuci pada tahun 1989.
Hari menjelang malam, perjalanan di hari kedua ini kami akhiri dengan makan malam sambil minum kopi di café, tidak ada yang istimewa dari kopi Banda ini, karena kopinya juga di datangkan dari jawa, namun jangan sampai ketinggalan merasakan pancake dengan selai pala atau cinnamon (kayu manis) lezat luar biasa, “ini baru Banda”, aroma rempah dan kudapan rasa rempah.  Selamat malam banda, mimpi indah saya hari ini pasti Sepia, jadoel ke zaman dahulu kala

Bawah laut nan Indah di Aliran lava
Ada 5 pulau utama di Bandaneira, selain pulau Neira ada juga Pulau Banda Besar,Pulau Ai, Pulau Run, Pulau Hatta dan Pulau Sjahrir . 
Terasa tak lengkap apabila hanya merasakan keindahan di daratan,  hari terkahir ini Kami akan melihat keindahan bawah laut juga, bersiap menuju pulau Syahrir dan keindahan bawah laut sekitar Gunung Api.
Pulau Syahrir, pulau ini dikenal juga dengan pulau Pisang, dari pelabuhan Neira menuju pulau Syahrir hanya ditempuh selama 45 menit dengan perahu motor.Di beri nama pulau Syahrir karena saat pengasingan Bung Syahrir tahun 1935 beliau sempat juga tinggal di pulau ini.  Suasana di pulau ini hampir sama dengan pulau lainnya di Bandaneira, pulau syahrir inipun dipenuhi dengan pohon pala, kemiri dan kenari.  Kerap kali kita menemukan hamparan fuli (bunga pala yang berwarna  merah) dan biji pala terhampar di depan rumah.  Apabila cuaca panas, bunga pala ini bisa kering 4-5 hari dan dijual Rp 135.000 perkilonya
Kepulauan Banda sebagai salah satu titik dive terbaik di dunia, Tahun 1980an Lady Diana dan Pangeran Charlespun sempat menikmati keindahannya. Jangan kuatir, persewaan alat-alat menyelam juga tersedia disini, Dive centre yang berada di Hotel Maulana memanjakan para diver, namun dengan menggunakan snorkel saja sebenarnya kita sudah dapat menikmati keindahannya karena airnya sangat bening, hampir 30 meter ke bawah masih bisa kita lihat dengan jelas, terutama di daerah aliran lava Gunung Api, ini adalah spot terbaik untuk  menikmati alam bawah laut.  Gunung api yang meletus tahun 1988 menghasilkan lava dan alirannya mengalir menuju permukaan dan dasar laut.  Perkembangan terumbu karangnya disini terhitung sangat pesat kurang dari 10 tahun sudah berkembang biak kembali dengan baik, sehingga mata sayapun begitu dimanjakan dengan terumbu karang aneka warna dan bentuk, dan tak kalah menarik ribuan ikan aneka warna berenang melintas di sela-sela kita.  Sungguh pengalaman yang luar biasa.  Bandaneira indah diatas dan di bawah laut.
13793538152052313233
Menikmati taman laut di daerah dekat guguran lava adalah spot terbaik
Jadual Penerbangan ke Ambon pukul 07.00, dengan berat harus mengakhiri perjalanan di Bandaneira.  Berharap besar cuaca tak mengalami gangguan, agar penerbangan Kami berjalan sesuai rencana.  Bertemu kembali dengan pak Turnip sang pramugara, “selamat pagi Bapak”, dengan sapaan ramah seperti sudah kenal bertahun-tahun,pesawat mulai take off, dan obrolan ringan mengalir, sambil melihat pulau Neira dari atas pesawat perintis ini, “saya mintakan izin ke pilot apakah diizinkan memotret dari ruang cockpit, dan tak berapa lama, sang pramugara melambaikan tangannya dan mempersilakan saya menyaksikan pemandangan Ambon dari ketinggian.  Indah sekali, walau tetap dengan rasa was-was.
Selamat datang kembali di Ambon, Bandaneira dan Perjalanan yang penuh makna, sejarah, semangat perjuangan, kecintaan pada negeri, makna yang saya dapatkan. Terimakasih sudah menjaga asset budaya dan sejarah ini, sehingga saya dan mungkin anak cucu ke depan masih bisa menyaksikan saksi bisu perjuangan bangsa

WISATA SEJARAH, BENTENG DUURSTEDE (FORT DUURSTEDE)

Benteng Duurstede yang terletak di pulau SAPARUA Maluku-Tengah, merupakan salah satu peninggalan sejarah jaman VOC. Pada awalnya benteng Duurstede ini dibangun oleh PORTUGIS yang menjajah Maluku pada tahun 1676, yang kemudian direbut dan dimanfaatkan kembali oleh Gubernur Ambon Mr. N. Schaghen pada tahun 1691. Benteng Duurstede ini dipakai sebagai pusat pertahanan dan pemerintahan VOC selama menduduki Saparua. Benteng ini juga menjadi saksi gigihnya perjuangan yang dipimpin oleh seorang pejuang bangsa Indonesia yang sangat berpengaruh yaitu Kapitan Patimura, yang pada 16 Mei 1817 memimpin rakyat Saparua untuk menyerbu benteng Duurstede. Jatuhnya benteng Duurstede membuat kedudukan VOC di Maluku dan Batavia goncang. Hal ini menyebabkan VOC berusaha kembali merebut benteng Duurstede.
Sampai saat ini, benteng Duurstede masih memliki bentuk yang lumayan utuh, dengan dikelilingi pemandangan yang indah. kalau dilihat memang benteng ini berada di posisi yang sangat strategis karena menghadap tepat ke arah laut, yang dilindungi oleh pegunungan.
P1050506Papan nama benteng Duurstede. Benteng ini sudah dilindungi oleh pemerintah sejak tahun 1992.
wqe
Tampak Benteng yang masih utuh
dasd
Plakat Benteng yang diresmikan oleh pemerintah
Yang tidak kalah menarik dari peninggalan sejarah ini adalah sisa-sisa objek yang masih dapat dilihat secara utuh, seperti tembok-tembok, meriam-meriam yang digunakan untuk senjata pertahanan pada era peperangan, dan juga pemandangan indah yang dapat dilihat sejauh mata memandang.
asdfsafasd
Pemandangan didalam benteng
qweqwesdfWatch Tower yang masih utuh pada benteng Duurstede
qweqweqerrBilik-bilik di dalam benteng
asdasMeriam yang masih utuh
aweawsdLogo VOC yang terukir pada meriam
Demikian sedikit ulasan saya mengenai Wisata Sejarah Benteng Duurstede (Fort Duurstede) yang berada di Saparua. Gambar-gambar yang ada di dalam artikel ini merupakan gambar asli yang diambil dari lokasi ketika saya berkunjung ke lokasi. 

Benteng Belgica


Benteng Belgica pada awalnya adalah sebuah benteng yang dibangun oleh bangsa Portugis pada abad 16 di Pulau Neira,Maluku. Lama setelah itu, di lokasi benteng Portugis tersebut kemudian dibangun kembali sebuah benteng oleh VOC atas perintah Gubernur Jendral Pieter Both pada tanggal 4 September 1611. Benteng tersebut kemudian diberi nama Fort Belgica, sehingga pada saat itu, terdapat dua buah benteng di Pulau Neira yaitu; Benteng Belgica dan Benteng Nassau. Benteng ini dibangun dengan tujuan untuk menghadapi perlawanan masyarakat Banda yang menentang monopoli perdagangan pala oleh VOC.

Pada tanggal 9 Agustus 1662, benteng ini selesai diperbaiki dan diperbesar sehingga mampu menampung 30 – 40 serdadu yang bertugas untuk menjaga benteng tersebut.
Kemudian pada tahun 1669, benteng yang telah diperbaiki tersebut dirobohkan, dan sebagian bahan bangunannya digunakan untuk membangun kembali sebuah benteng di lokasi yang sama. Pembangunan kali ini dilaksanakan atas perintah Cornelis Speelman. Seorang insinyur bernama Adriaan Leeuw ditugaskan untuk merancang dan mengawasi pembangunan benteng yang menelan biaya sangat besar ini. Selain menelan biaya yang sangat besar (309.802,15 Gulden), perbaikan kali ini juga memakan waktu yang lama untuk meratakan bukit guna membuat pondasi benteng yaitu sekitar 19 bulan. Biaya yang besar tersebut juga disebabkan karena banyak yang dikorupsi oleh mereka yang terlibat dalam perbaikan benteng ini. Akhirnya benteng ini selesai pada tahun 1672.
Sepuluh tahun kemudian komisaris Robertus Padbrugge ditugaskan untuk memeriksa pembukuan pekerjaan tersebut, tetapi ia tidak berhasil dalam tugasnya tersebut. Hal ini dikarenakan banyak tuan tanah yang beranggapan bahwa biaya tersebut tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan hasilnya, sebuah benteng yang hebat dan mengagumkan. Karena hal tersebut, Padbrugge menghentikan penyelidikannya.
Walaupun benteng tersebut dikatakan sangat hebat dan mengagumkan, tetapi masalah bagaimana untuk mencukupi kebutuhan air dalam benteng masih juga belum terpecahkan. Setelah menimbang-nimbang apakah akan menggali sebuah sumur atau membuat sebuah bak penampungan air yang besar atau membuat empat buah bak penampungan air yang lebih kecil, akhirnya diputuskan untuk menggali sebuah sumur di dekat benteng dan menghubungkannya dengan sebuah bak penampung air berbentuk oval yang dibuat di tengah halaman dalam benteng.
Pada tahun 1795, benteng ini dipugar oleh Francois van Boeckholtz—Gubernur Banda yang terakhir. Pemugaran ini dilaksanakan juga di beberapa benteng-benteng lain sebagai persiapan untuk menghadapi serangan Inggris. Satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 8 Maret 1796, benteng Belgica diserang dan berhasil direbut oleh pasukan Inggris. Dengan jatuhnya benteng ini, Inggris dengan mudah dapat menguasai Banda. Pada tahun 1803 dilaporkan, setiap kali ada satu kapal yang berlabuh, diadakan upacara band militer setiap jam 5 pagi dan jam 8 malam di benteng Belgica dan Nassau. Setiap hari Kamis dan Senin dilakukan pawai militer pada jam 6.30 pagi. Pergantian jaga dilakukan setiap pagi, siang dan malam pada kedua benteng tersebut, sehingga hampir setiap jam masyarakat yang tinggal dekat kedua benteng tersebut dapat melihat parade militer dan mendengarkan musik dari band militer. Benteng Belgica telah dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995.

Monumen Martha Tiahahu, Bukti Perjuangan Wanita Maluku

Patung Martha Tiahahu dengan gagahnya memegang tombak.


Monumen Martha Tiahahu menjadi bukti sejarah keberanian wanita maluku dalam membela tanah air tercinta. Traveler bisa melihat patungnya di Karang Panjang, tak jauh dari Kota Ambon.
Patung Martha Christina Tiahahu terletak di Karang Panjang, daerah bukit yang terlihat jelas dari Kota Ambon. Menuju Karang Panjang dari Kota Ambon melewati jalan menanjak dan beberapa tikungan tajam, baru tiba di lokasi Monumen Martha Christina Tiahahu yang bersebelahan dengan Kantor DPRD Maluku.
Dari lokasi Patung Martha Christina Tiahahu kita bisa melihat pemandangan Kota Ambon. Lokasi ini biasa dijadikan tempat alternatif untuk menikmati suasana santai, terutama para muda-mudi yang ingin menikmati pemandangan Kota Ambon.
Patung Christina ditampilkan membawa tombak. Namun dalam pertempuran melawan Belanda, legenda mengatakan bahwa dia melemparkan batu ke tentara Belanda ketika pasukannya kehabisan amunisi.
Karena keberanian besarnya dalam melawan senjata api Belanda hanya dengan batu, masyarakat Maluku menyebutnya seorang wanita kabaressi (berani). Namanya juga digunakan sebagai jalan di Karangpanjang.
Pada dasar monumen terdapat tulisan 'Martha C. Tijahahu, mutiara Nusa Laut (Pulau), Pahlawan Nasional RI, yang berjuang untuk mengusir penjajah Belanda dari Maluku, jatuh pada Januari 2, 1818.'
Mengunjungi monumen tokoh sejarah akan berkurang nilainya, jika kita tidak mencari tahu siapa gerangan tokoh bersejarah yang diabadikan dalam monumen tersebut termasuk saat berkunjung ke Monumen Martha Tiahahu.
Martha Christina Tiahahu lahir pada tahun 1800 di suatu desa bernama Abubu di Pulau Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah. Martha kecil terkenal berkemauan keras dan pemberani. 
Ia selalu mengikuti ayahnya Paulus Tiahahu, termasuk ikut menghadiri rapat perencanaan perang. Paulus Tiahahu merupakan salah seorang pemimpin perjuangan rakyat Maluku melawan Belanda. Setelah dewasa, Martha Christina Tiahahu pun ikut bertempur.
Martha Christina Tiahahu dan ayahnya bersama Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura berhasil menggempur pasukan Belanda yang bercokol di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. Namun, dalam pertempuran sengit di Desa Ouw-Ullath sebelah Tenggara Pulau Saparua, para pejuang Maluku kalah akibat kekuatan yang tidak seimbang. Banyak pejuang yang tertangkap, termasuk Paulus Tiahahu yang dihukum mati.
Meski demikian, Martha Christina Tiahahu terus bergerilya bersama para pejuang hingga akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa. Menjadi tawanan tidak membuatnya melunak terhadap Belanda. 
Ia tetap bersikap keras dengan melakukan aksi mogok makan dan jatuh sakit. Martha Christina meninggal dunia di atas kapal perang Eversten milik Belanda dalam perjalanan ke tempat pengasingan di Jawa. Jasad beliau dimakamkan di Laut Banda dengan penghormatan militer pada 2 Januari 1818.